Sunday, 20 October 2019

Budaya Mayam Aceh, BukanPengundang Bala

Tags

Sumber Gambar : Boombastis

"Besok mak akan menemui Taoke Ramli, mungkin ia sanggup untuk membeli tanah peninggalan almarhum ayahmu di 1gampoeng sebelah. Mak rasa itu cukup untuk menutupi mahar tiga puluh 2mayam. Biar engkau cepat-cepat bisa menyunting nak Lela", ungkap Cuda Munah di sela makan malam dengan anak lelaki semata wayangnya. Munzir yang mendengar ungkapan Cuda begitu terpukul. Tak rela hati ia menjual tanah warisan itu.
"Tidak usah mak menjualnya untukku. Akan ku usaha sendiri untuk menikah beserta dengan adat-adatnya yang berlaku. Andaikan mak tetap menjual petak tanah itu, tidak sudi saya sentuh rupiah itu untuk mahar". Munzir berbicara tegas. Api lampu teplok yang menerangi meja makan menari kesana kemari digoyangkan sendunya hembusan angin malam. Niat Cuda yang mulia itu sudah lama disarankan kepada Munzir, detik itu Cuda menyampaikan detik itu pula Munzir melarangnya.  
"Tapi 3neuk. Tiga puluh mayam itu bukan sedikit, harus ada yang dijual". Cuda mencoba menjelaskan sambil memamerkan senyum ikhlas. Tidak menunggu lama, Munzir langsung bersikap. "Tidak mak, saya bisa mencari tiga puluh mayam itu".
"Kapan akan selesai?" tanya Cuda seraya menatap lekat ke mata anaknya. "Aku tidak tahu mak. Kalau tiga puluh mayam itu sudah kudapat, akan segera kulepas hajat untuk melamar", Munzir mencoba meyakinkan dengan santun.
"Sanggup anak dara orang menunggu pencarian mu itu?" Kali ini suara Cuda cukup rendah dan keluar penuh dari dalam hati. Bola matanya ikut berbinar karena pantulan linangan dengan cahaya api teplok.
***
Sayup-sayup suara azan mulai bersahutan di 4meunasah-meunasah. Mata Munzir belum juga bersahabat untuk terlelap. Pikirannya kusut layak tumpukan jerami. Sebagai penawar hati, ditimbanya air di sumur belakang untuk berwudu dan menunaikan kewajiban dua rakaat menghadap kiblat di subuh itu.
Mentari masih malu enggan untuk menampak wujud, sedang Munzir sudah bersiap diri untuk pergi mendayung biduk. Mungkin ada rezeki yang dapat dijaring di lautan sana, harapnya. Cuda sudah cukup paham dengan suara engsel pintu yang mengerang subuh-subuh buta, itu pasti anak lelakinya hendak pergi mengais rezeki yang Ilahi tabur. Sedang Cuda terus larut dalam ratib-nya.
***
"Kenapa engkau kemari Lela? Akan jadi petaka besar jikalau Teuku mengetahuinya". Munzir terkejut berat melihat Lela duduk di atas pasir sebelah biduknya. Sedang pagi masih gelap. Wanita itu bangkit dan menatap Munzir. Ranting kering yang ia gunakan untuk menggores pasir tetap dipegangnya. Angin dingin pagi mendesir memainkan jilbab anak dara tuan Teuku.
"Hatiku tidak tenang Munzir. Malam tadi aku terus memikirkan engkau". Lela memasang senyum tiga senti. Tapih tetap saja ada sebaris kegundahan yang tersirat di wajah gadis 5Gampoeng Lameurameune ini. Sedang Munzir terus menatap laut yang terus mematahkan riak-riaknya ke atas bumi.
"Bang. Ampon Munawar akan meminta ku pada ayah untuk disandingkan dengan anaknya Teuku Karim.  Mak yang mengatakan itu padaku. Dan ayah Leman setuju dengan hal itu", sambung Lela. Betapa tercabiknya hati lelaki malang ini mendengar tutur Lela. Jiwanya bergemuruh mengalahkan amukan laut pagi itu. Tidak sampai hati ia membuat hati anak dara ini menunggu lama tanpa dilabuhkan akad suci.
"Apa yang membuat Teuku sekeras itu padaku? Apa karena tiga puluh mayam yang tak ujung kunyatakan?" Anggukan kecil diperlihatkan Lela seraya menunduk. Tak kuasa ia melihat wajah lelaki yang dicinta itu terpukul bertalu-talu jiwanya.
"Aku akan pergi Lela. Akan banyak ikan yang bisa kujaring di lautan sana. Tidak banyak lagi Lela, tidak. Kuusahakan untuk kugenap tuntaskan tiga puluh mayam itu."
Lela menggenggam tangan Munzir. Ia sudah tak paham itu bukan mahramnya. Laut seperti murka pagi ini. Perahu nelayan yang lain juga masih tertambat di pesisir sambil menahan terpaan gelombang yang menantang. Tidak ada yang berani mengundi nyawa di lautan sana. Sesudah hajat rindu dua insan itu terpenuhi, dilepasnya biduk dari labuh, Munzir mulai mendayung menerkam ombak pagi itu.
***
Ayat-ayat dibacakan berjamaah. Dalam hati Cuda hanya dua harapan dipanjatkan untuk-Nya. Munzir kembali dengan selamat atau takdir pemukul yang harus ditahannya; jasad anak lelaki yang pernah dikandung Cuda bisa disemayamkan bersebelahan dengan pusara suaminya. 6Pawang Laot sudah beberapa kali mengobrak-abrik lautan, tapi hasilnya nihil, sosok Munzir pemuda Gampong Lameurameune tidak jua diketemukan.
Sedang hati Lela jangan ditanya, entah berapa keping tercabik. Matanya mulai membengkak sebab terus mengeluarkan air duka. Seandai ia sanggup melarang Munzir berlayar subuh itu, mungkin tidak begini nasib yang harus ditelannya. Sudah tujuh hari semenjak khabar kehilangan itu dilapor, tidak jua ada tanda nyawa dan raga masih bersama atau sebaliknya.
Semenjak peristiwa itu, Lela mulai berandai-andai sendiri. Kalau ayah Leman tidak membebankan mahar berat itu kepada Bang Munzir mungkin ia masih hidup di sini. Kalau saja adat itu tidak dilahirkan di negeri ini? Aah, mungkin… Dara itu mulai mengusap perutnya yang kian merekah. Mungkin benih tak berakat ini tak tertanam di sini, lanjutnya. Tujuh bulan bukan hal mudah mengelabui Teuku Leman dan sanak kerabat. Semua orang mulai menggunjing cibir perihal siapa ayah dari cucu Teuku yang akan melihat dunia beberapa bulan lagi. Siapa yang akan mengazankan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri anak malang itu nanti.
Saban hari Teuku harus menundukkan wajah ketika pergi ke hari pekan. Sudah amis telinganya mendengar desas-desus penduduk. Ampon Munawar yang mengetahui perihal ini segera menarik lisan untuk menikahkan Karim dengan si Lela.
Seraya menyeka airmata, dara itu mulai tertawa terbahak-bahak sendiri di pojok kamar gelap. Rambutnya kusut, pasung yang pengunci kaki kirinya makin mempertegas kesuraman yang melanda dara malang satu ini. Sesekali pikirannya bernostalgia ke suasana subuh syahdu itu sebelum petaka. Ujung jemari hingga ubun-ubun kedua insan itu menggelegar nikmat tak karuan dalam dekap gelap. Ya, pertanda benih itu sudah tertanam dalam rahim Lela. Kotor sudah kesucian yang lelah dipapah, dan dipagar adat terhunus belati. Entah Iblis apa yang merasuki kedua anak manusia ini tatkala itu. Tidak, adat tidak sekejam itu pada manusia yang hendak berakat suci, ini bukan perlakuan adat, Laila berbicara sendiri. Laut telah divonis menerkam buah hatinya tujuh bulan berlalu. Dinding bilik kayu dipukul berkali-kali layaknya tembakan salvo atas kepergian Munzir. Sedang Cutpoe Intan larut dengan air mata bersama ratib memohon penawar untuk si dara.
Darussalam, 10 Oktober 2019

Kata Kunci :
1Kampung, desa
2Takaran emas dalam tradisi masyarakat Aceh
3Anak
4Surau
5Kampung
6Pawang Laut

Penulis : Muzammil (Abenk Bolang)