![]() |
Sumber Gambar : Boombastis |
"Besok mak akan menemui Taoke Ramli, mungkin ia sanggup untuk membeli tanah peninggalan almarhum ayahmu di 1gampoeng sebelah. Mak rasa itu cukup untuk menutupi mahar tiga puluh 2mayam. Biar engkau cepat-cepat bisa menyunting nak Lela", ungkap Cuda Munah di sela makan malam dengan anak lelaki semata wayangnya. Munzir yang mendengar ungkapan Cuda begitu terpukul. Tak rela hati ia menjual tanah warisan itu.
"Tidak usah mak menjualnya untukku. Akan ku usaha
sendiri untuk menikah beserta dengan adat-adatnya yang berlaku. Andaikan mak tetap
menjual petak tanah itu, tidak sudi saya sentuh rupiah itu untuk mahar".
Munzir berbicara tegas. Api lampu teplok yang menerangi meja makan menari
kesana kemari digoyangkan sendunya hembusan angin malam. Niat Cuda yang mulia
itu sudah lama disarankan kepada Munzir, detik itu Cuda menyampaikan detik itu
pula Munzir melarangnya.
"Tapi 3neuk. Tiga puluh mayam
itu bukan sedikit, harus ada yang dijual". Cuda mencoba menjelaskan sambil
memamerkan senyum ikhlas. Tidak menunggu lama, Munzir langsung bersikap.
"Tidak mak, saya bisa mencari tiga puluh mayam itu".
"Kapan akan selesai?" tanya Cuda seraya menatap
lekat ke mata anaknya. "Aku tidak tahu mak. Kalau tiga puluh mayam
itu sudah kudapat, akan segera kulepas hajat untuk melamar", Munzir
mencoba meyakinkan dengan santun.
"Sanggup anak dara orang menunggu pencarian mu
itu?" Kali ini suara Cuda cukup rendah dan keluar penuh dari dalam hati.
Bola matanya ikut berbinar karena pantulan linangan dengan cahaya api teplok.
***
Sayup-sayup suara azan mulai bersahutan di 4meunasah-meunasah.
Mata Munzir belum juga bersahabat untuk terlelap. Pikirannya kusut layak
tumpukan jerami. Sebagai penawar hati, ditimbanya air di sumur belakang untuk
berwudu dan menunaikan kewajiban dua rakaat menghadap kiblat di subuh itu.
Mentari masih malu enggan untuk menampak wujud, sedang Munzir
sudah bersiap diri untuk pergi mendayung biduk. Mungkin ada rezeki yang dapat
dijaring di lautan sana, harapnya. Cuda sudah cukup paham dengan suara engsel
pintu yang mengerang subuh-subuh buta, itu pasti anak lelakinya hendak pergi
mengais rezeki yang Ilahi tabur. Sedang Cuda terus larut dalam ratib-nya.
***
"Kenapa engkau kemari Lela? Akan jadi petaka besar
jikalau Teuku mengetahuinya". Munzir terkejut berat melihat Lela duduk di atas
pasir sebelah biduknya. Sedang pagi masih gelap. Wanita itu bangkit dan menatap
Munzir. Ranting kering yang ia gunakan untuk menggores pasir tetap dipegangnya.
Angin dingin pagi mendesir memainkan jilbab anak dara tuan Teuku.
"Hatiku tidak tenang Munzir. Malam tadi aku terus
memikirkan engkau". Lela memasang senyum tiga senti. Tapih tetap saja ada sebaris
kegundahan yang tersirat di wajah gadis 5Gampoeng Lameurameune
ini. Sedang Munzir terus menatap laut yang terus mematahkan riak-riaknya ke
atas bumi.
"Bang. Ampon Munawar akan meminta ku pada ayah untuk
disandingkan dengan anaknya Teuku Karim. Mak yang mengatakan itu padaku. Dan ayah Leman
setuju dengan hal itu", sambung Lela. Betapa tercabiknya hati lelaki
malang ini mendengar tutur Lela. Jiwanya bergemuruh mengalahkan amukan laut
pagi itu. Tidak sampai hati ia membuat hati anak dara ini menunggu lama tanpa
dilabuhkan akad suci.
"Apa yang membuat Teuku sekeras itu padaku? Apa
karena tiga puluh mayam yang tak ujung kunyatakan?" Anggukan kecil
diperlihatkan Lela seraya menunduk. Tak kuasa ia melihat wajah lelaki yang
dicinta itu terpukul bertalu-talu jiwanya.
"Aku akan pergi Lela. Akan banyak ikan yang bisa
kujaring di lautan sana. Tidak banyak lagi Lela, tidak. Kuusahakan untuk kugenap
tuntaskan tiga puluh mayam itu."
Lela menggenggam tangan Munzir. Ia sudah tak paham itu
bukan mahramnya. Laut seperti murka pagi ini. Perahu nelayan yang lain juga
masih tertambat di pesisir sambil menahan terpaan gelombang yang menantang.
Tidak ada yang berani mengundi nyawa di lautan sana. Sesudah hajat rindu dua
insan itu terpenuhi, dilepasnya biduk dari labuh, Munzir mulai mendayung
menerkam ombak pagi itu.
***
Ayat-ayat dibacakan berjamaah. Dalam hati Cuda hanya dua
harapan dipanjatkan untuk-Nya. Munzir kembali dengan selamat atau takdir
pemukul yang harus ditahannya; jasad anak lelaki yang pernah dikandung Cuda
bisa disemayamkan bersebelahan dengan pusara suaminya. 6Pawang
Laot sudah beberapa kali mengobrak-abrik lautan, tapi hasilnya nihil, sosok
Munzir pemuda Gampong Lameurameune tidak jua diketemukan.
Sedang hati Lela jangan ditanya, entah berapa keping
tercabik. Matanya mulai membengkak sebab terus mengeluarkan air duka. Seandai
ia sanggup melarang Munzir berlayar subuh itu, mungkin tidak begini nasib yang
harus ditelannya. Sudah tujuh hari semenjak khabar kehilangan itu dilapor,
tidak jua ada tanda nyawa dan raga masih bersama atau sebaliknya.
Semenjak peristiwa itu, Lela mulai berandai-andai
sendiri. Kalau ayah Leman tidak membebankan mahar berat itu kepada Bang
Munzir mungkin ia masih hidup di sini. Kalau saja adat itu tidak dilahirkan di negeri
ini? Aah, mungkin… Dara itu mulai mengusap perutnya yang kian merekah.
Mungkin benih tak berakat ini tak tertanam di sini, lanjutnya. Tujuh bulan
bukan hal mudah mengelabui Teuku Leman dan sanak kerabat. Semua orang mulai menggunjing
cibir perihal siapa ayah dari cucu Teuku yang akan melihat dunia beberapa bulan
lagi. Siapa yang akan mengazankan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri
anak malang itu nanti.
Saban hari Teuku harus menundukkan wajah ketika pergi ke
hari pekan. Sudah amis telinganya mendengar desas-desus penduduk. Ampon Munawar
yang mengetahui perihal ini segera menarik lisan untuk menikahkan Karim dengan
si Lela.
Seraya menyeka airmata, dara itu mulai tertawa
terbahak-bahak sendiri di pojok kamar gelap. Rambutnya kusut, pasung yang
pengunci kaki kirinya makin mempertegas kesuraman yang melanda dara malang satu
ini. Sesekali pikirannya bernostalgia ke suasana subuh syahdu itu sebelum
petaka. Ujung jemari hingga ubun-ubun kedua insan itu menggelegar nikmat tak
karuan dalam dekap gelap. Ya, pertanda benih itu sudah tertanam dalam rahim
Lela. Kotor sudah kesucian yang lelah dipapah, dan dipagar adat terhunus
belati. Entah Iblis apa yang merasuki kedua anak manusia ini tatkala itu. Tidak,
adat tidak sekejam itu pada manusia yang hendak berakat suci, ini bukan
perlakuan adat, Laila berbicara sendiri. Laut telah divonis menerkam buah
hatinya tujuh bulan berlalu. Dinding bilik kayu dipukul berkali-kali layaknya
tembakan salvo atas kepergian Munzir. Sedang Cutpoe Intan larut dengan air mata
bersama ratib memohon penawar untuk si dara.
Darussalam, 10 Oktober 2019
Kata Kunci :
1Kampung, desa
2Takaran emas dalam tradisi
masyarakat Aceh
3Anak
4Surau
5Kampung
6Pawang Laut